Senin, 27 April 2009

Future : komunitas marginal di malioboro

EMPUK LIMA RIBU KERAS SEPULUH RIBU SAJA


Empuk lima ribu keras sepuluh ribu eits tapi jangan ngeres dulu pikirannya, itulah yang di ungkapkan oleh Sasa salah satu seorang tukang sol sepatu yang berada di emperan kawasan malioboro.

Siapa yang tidak mengenal malioboro hampir semua orang mengenalnya,dibalik ketenaran malioboro ada salah seorang tukang sol sepatu yang tidak kalah fenomenalnya dengan orang tersebut “siapa yang tidak kenal dengan Sasa” ujar laki-laki yang sudah 10 tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu di kawasan malioboro tersebut,Sasa mendapatkan job dari warga sekitataran Malioboro seperti para pedagang dan para karyawan salah satu mal besar di malioboro bahkan tidak sedikit pula para pelancong yang berkunjung menggunakan jasanya untuk sekedar mengelem atau mengesolkan sepatunya disana,biasanya biaya yang di kenakan sesuai dengan jenis bahan baku sepatu tersebut,jika keras dikenakan biaya Rp10.000 dan jika empuk atau sekedar mengelem di kenakan biaya Rp5.000 setiap pasangnya.”Biasanya sehari saya bisa dapat sampai Rp 50.000 itupun jika pada waktu liburan,tetapi kalau sepi ya hanya membawa pulang Rp30.000 saja”ujarnya di sela-sela sedang serius menjahit sepatu seorang ibu yang berasal dari Semarang. Sri Wahyuni mengungkapkan sepatunya terkelupas lemnya karena terinjak pengunjung lain saat berjalan mencari baju batik di emperan malioboro.”sepatu saya terinjak oleh seorang pengunjung yang sedang berjalan,ketika saya melihat sepetu saya ternyata copot,dan tidak jauh di depan saya melihat ada tukang reparasi sepatu,ya langsung saja saya kesana.”demikianyang di ungkapkan wanita 32 tahun terdebut dengan suami dan ke dua anaknya.

Di era resensi Global ini perekonomian sangatlah lesu kisah seorang Sasa yang memiliki nama asli Tugiman harus mencukupi kebutuhan 3 orang anak dan seorang istrinya tersebut,dan ketiga anak Sasa tidak ada yang melanjutkan sekolah yang lebih tinggi hanya sampai SMP saja karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan,sedangkan istri Sasa yang bernama Sarjiem (47) hanya bekerja sebagai tukang pencari rongsokan di daerah Wirobrajan dengan menggunakan sepeda onthel.Tugiman alias Sasa tidak pernah mencicipi bangku sekolah ini sehingga tidak dapat baca tulis ini bercerita tentang bagaimana sulitnya mencari uang sekarang ini karena harus rela menempuh jarak sekitar 30km dari rumahnya di Sewon Bantul demi mencari sesuap nasi untuk keluarganya,sejak umur 17 tahun Sasa belajar mereparasi sepatu ia melihat kakaknya yang notabene berprofesi sama dengannya dan kemudian memberanikan diri untuk mencoba menggeluti di bidang ini dengan berkeliling pada tahun 1978 sampai daeah Jalan Kaliurang km 10 dengan menggunakan sepeda kesayangannya dan peralatan solnya yang ia beli dengan harga Rp750 di toko Liman.Pada tahun 1999 Sasa menetap untuk membuka prakteknya di Malioboro sampai sekarang ia mengungkapkan bahwa sudah semakin tua dan sudah tidak sekuat dulu lagi seperti sewaktu muda dulu ia juga mengungkapkan nasib adiknya bebeda jauh dengannya karena adiknya adalah seorang Polisi yang bertugas di kawasan Gading Alun-alun.

HENDRA KURNIAWAN

153070015

A/IK


Mardiono, Seniman Angklung Malioboro


Biaya hidup yang semakin menjepit, mendorong Mardiono untuk bekerja. Walaupun dengan kondisi fisik kurang, tidak dijadikannya sebagai halangan mencari nafkah sebagai pengamen angklung


Kondisi kebutaan yang dialami sejak dari kecil oleh mardiono(54), tidak menyurutkan dirinya untuk bekerja. Pria yang seharinya berprofesi sebagai pengamen di sekitar Jl Malioboro tepatnya depan Hotel Mutiara.

Permainan angklung yang mahir sekarang ini, ternyata tidak lepas dari peran kakak sepupunya seorang dalang kondang. “ sebelum sepupu saya meninggal, dia sempat mengajarkan saya cara bermain angklung hingga bisa semahir sekarang” jelas Mardioano. “Kemudian setelah beliau meninggal, saya membeli angklung menggunakan uang yang ditinggalkan sepupu saya itu. dengan harga Rp 150000 “ tambah Mardiono.

“Ya Cuma inilah yang bisa saya kerjakan dengan kondisi saya sekarang ini” jelas Mardiono. “ Walaupun begitu saya tetap tidak menyerah, yang penting saya bisa bekerja dan istri bisa makan” tambahnya lagi. Permainan angklung mardiono ternyata menarik perhatian dari para pengunjung Malioboro, terutama para turis asing yang sedang berjalan. “ Di Negara saya, tidak ada alat musik seperti ini yang dimainkan menghasilkan nada merdu “ kata Wallcot (56) turis asal Austri ini. “ Rasanya saya tidak pengan pulang, ingin berlama – lama mendengar bapak ini bermain angklung” tambah Albert turis asal Jerman

Bicara soal pengalaman selama mengamen, Bapak yang belum memiliki anak ini mengatakan “ saya pernah diusir oleh petugas hotel, karena menurut mereka saya sudah mengganggu kenyamanan pengunjung hotel tersebut”. “ Padahal saya kan cuma berada di luar hotel, mungkin karena mereka lihat kalau saya ini buta makanya mereka memandang rendah saya” kata mardiono.

Pria yang bertempat tingga di minggiran ini waktu ditanya bagaimana dirinya datang setiap harinya kesini, Mardiono menjawab sambil tertawa “ pasti pada bertanya bagaiman orang buta bisa kesisni tiap hari tuk mengamen,haha…”.“saya kesini diantar sama tetangga menggunakan becak setiap jam 9 pagi, begitu juga pulangnya saya dijemput lagi” jelas mardiono. Bila bicara soal penghasilan Mardiono mengatakan “ tidak ada pendapatan tetap bagi pengamen apalagi orang buta seperti saya, kadang cukup buat makan bahkan kadang tidak dapat sama sekali” jelasnya. “untung saja istri saya juga bekerja, jadi sedikit bisa meringankan biaya hidup kami” tambah mardiono.

Beliau juga menambahkan “ saya pengen semua orang bisa seperti saya untuk rajin berusaha, jangan jadikan kondisi cacat alasan” setidaknya itu pesan Mardiono sembari menyudahi percakapannya.

INDRA PUJO PRASETIA

153070007

A/IK


PERJUANGAN HIDUP SEORANG KAKEK


Orang yang memasuki masa senja seharusnya beristirahat dan menikmati hidup bersama anak cucu. Namun, lain halnya dengan Arjo. Kakek berusia 80 tahun ini masih terus mengadu nasib di jalanan mengais lembaran rupiah.

Di tengah panas terik, Arjo menyusuri jalan-jalan di kawasan Malioboro menjajakan mebel kayu buatannya. Ia menarik sebuah gerobak yang memua dipan, meja, kursi, dan lincak. Jalannya masih kokoh, tak terlihat tanda-tanda keletihan di wajahnya

Arjo menjual dipan dan meja seharga Rp 200.000, sedangkan lincak Rp 250.000. jika semua mebel terjual ia bias mengantungi Rp 800.000. menurut ayah 2 anak ini, untung yang didapat minim, maksimal hanya Rp 20.000 untuk satu perabot. “Harga kayu sekarang mahal. Uang yang saya bawa pulang dijadikan modal untuk membeli kayu jati dan ahoni, serta ongkos gergaji, setelah itu saya kerjakan pembuatan mebel sendiri, karena ongkos tukang mahal.” ujarnya.

Saat tak berjualan, ia juga nyambi bertani menanam padi, kacang dan palawija. Ia menanam selama 10 hari, selanjutnya tanaman diurus istrinya. “Tani itu hanya nyamben, tak bias diandalkan, hasilnya hanya untuk makan. Pekerjaan utama saya tetap membuat dan menjual mebel,” kata Arjo sembari menambahkan, ia telah melakoni pekerjaan ini sejak zaman penjajahan Jepang.

Kendati berat, ia mengaku menikmati pekerjaannya. Ia tak mau menggantungkan hidupnya pada keempat anaknya yang semua telah berkeluarga.”Saya tak mau membebani mereka atau mengiba pada orang lain. Saya senang bekerja, mungkin itu sebabnya tubuh saya selalu sehat, sementara orang-orang seusia saya lemah dan sakit-sakitan,” tuturnya bangga.

(Wilujeng Kurniari/153070040)



Sri Hartuti, Ibu rumah tangga dan tulang punggung keluarga


Sri Hartuti seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai tulang punggung keluarga setelah suaminya tidak mampu untuk bekerja lagi.

Himpitan ekonomi tak membuat Ibu Sri Hartuti merasa kesuasahan, selama dirinya masih sanggup untuk bekerja apapun dilakoni. Umur yang sudah menginjak tua tak membuat ibu dua anak ini merasa lelah dalam mencari sesuap nasi. Suami yang harusnya menjadi tulang punggung keluarga kini hanya bisa duduk dirumah menunggunya pulang kerja. Raut wajah ibu berumur 48 tahun itu telah menampakkan kerutan tapi semangat bekerja tetap ada dalam dirinya.

Anak pertama Ibu Sri Hartuti berumur 19 tahun, setelah lulus SMA dia bekerja disebuah toko dan gajinya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari dia. Sedangkan anak keduanya masih duduk di bangku SMP kelas satu dan masih membutuhkan banyak biaya. Beban hidup yang ditanggung Sri Hartuti tak pernah membuatnya mengeluh. Dia bekerja untuk biaya hidup keluarga dan biaya sekloah anak keduanya.

Wanita paruh baya ini bekerja sebagai pedagang es degan keliling disekitar beteng Vredeburg. Dirinya mulai bekerja dari jam 08.00 – 18.00 WIB dengan pendapatan kurang lebih Rp. 30.000 per hari. Sebelum akhirnya memutuskan untuk berjualan, wanita yang ditinggal di kadipaten kulon ini mengaku bahwa pernah bekerja di sebuah rumah sebagai PERATURAN selama hampir 5 tahun tapi dia harus mengalami nasib menjadi buruh, dikeluarkan dengan tidak digaji selama 2 bulan karena dituduh mencuri oleh majikannya. “Meskipun pendapatan sehari cuma sedikit, yang penting cukup untuk makan dan bisa membiayai sekolah anak-anak” Ungkap Sri Harstuti di akhir wawancara.

Viona arliasari/ 153070012