Selasa, 09 Juni 2009

Opini

Pendidikan Gratis atau Tragis?

Mulai tahun 2009 ini masyarakat dijanjikan sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP.Janji ini pun mendapat sambutan baik dari masyarakat.Masyarakat mulai merenda angan:anak-anak mereka akan bisa mengenyam pendidikan minimal hingga kelas IX atau tamat SMP.

Sayangnya,janji itu berlaku untuk sekolah negeri.Padahal faktanya,banyak siswa yang tidak tertampung oleh sekolah negeri dan terpaksa harus bersekolah di sekolah swasta.Untuk itu,tentu saja mereka tetap harus keluar biaya mulai uang masuk,seragam,buku hingga biaya tetek bengek lainya yang belum tentu berkaitan dengan kegiatan belajar mengajarnya.Bahkan untuk sekolah-sekolah berkualitas atau sekolah terpadu biaya yang harus dikeluarkan sangat besar.Uang masuknya saja rata-rata mencapai jutaan,sementara uang SPP-nya mencapai ratusan ribu rupiah perbulanya.

Untuk sekolah setingkat SLTA belum ada sekolah gratis secara nasional,termasuk sekolah negeri.Artinya,seluruh masyarakat harus menanggung banyak biaya demi kelangsungan sekolah anak-anak mereka di SLTA,negeri ataupun swasta.Lain untuk tingkat pendidikan tinggi,PTN telah ”diswastani”melalui UU BHP.Memang,Pemerintah masih mengucurkan dana ke PTN namun sebagian besar biaya penyelenggaraan pendidikan harus ditanggung oleh PTN itu sendiri.PTN selanjutnya membebankan biaya itu kepada para mahasiswa.Dari sinilah kita akhirnya mendengar biaya masuk PTN yang dari hari ke hari makin mahal,mencapai puluhan juta rupiah,bahkan untuk masuk fakultas kedokteran mencapai lebih dari 100 juta rupiah.Uang SPP-nya pun tidak ada lagi yang bisa dikatakan”murah”.Rata-rata SPP Perguruan Tinggi Negeri mencapai jutaan rupiah,bahkan ada yang mencapai 25 juta rupiah per semester.

Pada akhirnya,anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan sekolah apa adanya dan membuang mimpi untuk menikmati pendidikan tinggi.Jika dulu sekolah bisa dikatakan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib,maka dengan mahalnya biaya sekolah,peluang perbaikan nasib itu seakan ditutup untuk mereka yang kurang mampu.Jadilah mereka yang kurang mampu terjebak terus menerus secara turun menurun dalam lingkaran keterpurukan.Pendidikan tinggi akhirnya menjadi”hak khusus” bagi kalangan si.kaya.

Edhar Wali Masrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar